Minggu, 25 Januari 2009

Budaya kekerasan yang kerap mewarnai proses belajar mengajar di Akademi Kepolisian harus ditiadakan. Hal ini untuk mewujudkan polisi sipil yang modern dan demokratis dengan pola pikir yang bermental baik, berpengetahuan, serta sehat jasmani, dan rohani.

Penghapusan budaya kekerasan di kehidupan pendidikan sudah dilakukan. Sebagai lembaga pendidikan pencetak perwira polisi dan sebagai pelindung, pengayom, dan penegak hukum sudah selayaknya menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sebagai penegak hukum harus menjadi contoh yang baik di masyarakat.

Oleh karena itu, dasar kepemimpinan di pendidikan ini harus dibentuk. Pola pendidikan yang diterapkan harus patuhi hukum. Jadi, apa pun yang terjadi di kampus Akpol, itu sama dengan yang di masyarakat umum.

Bagi taruna yang melakukan tindak pidana selama menjalani pendidikan bakal terancam tiga sanksi, yakni sanksi administrasi, disiplin, dan peradilan umum. Dalam perkembangannya, pendidikan Akpol sekarang sudah jauh lebih bagus. Namun, tetap perlu mematuhi aturan. Dan, pola hubungan taruna sudah tidak lagi senior dan yunior, melainkan kemitraan.

Kepada taruna dan taruni senior, adanya pembimbingan kepada yuniornya. Pola pembinaan dilandasi etika dan moral yang baik serta mengarah pada peningkatan kemampuan intelektual, penguasaan ilmu pengetahuan dan ketrampilan kepolisian.

Taruna Akademi Kepolisian (Akpol) diminta menghapuskan budaya kekerasan atau tradisi perpeloncoan yang selama ini ditengarai kerap dilakukan di kampus pencetak perwira polisi tersebut.

Tradisi-tradisi korp taruna yang tidak tertulis yang mengarah pada perilaku menyimpang harus dihilangkan. Ini justru yang bisa menghambat lahirnya hasil didik yang berkualitas.

Penegak hukum harus bisa jadi contoh yang baik di masyarakat. Karena itu, dasar kepemimpinan di pendidikan ini harus dibentuk. Pola pendidikan yang diterapkan harus mematuhi hukum yang berlaku. Jadi, apapun yang terjadi di kampus Akpol tidak ada bedanya dengan yang ada di masyarakat umum.